Redup merayu semu
letih di geram hendak gemeretak
lunglau mendera tulang pemberontak
teriak di kekosongan jiwa luka
tidak sesosok pun membakar sang penggagas
letih kembali, meninggalkan nyanyian yg diabadikan
dalm slogan, pekikan dan jargon
bahkan ia tenggelam dalam pesta kegelapan
apakah ia juga terjangkiti?
lawankah?
kawankah?
saudarakah?
musuhkah?
racun?
madu?
halal?
haram?
mubah?
sunnah?
udara malam yang seharusnya dingin
telah memusingkan kepala jadi panas, kadang malah menyejukkan
airmata, tawa, senyum, bahagia dan derita
kabur bagaikan gangsing mainan yang diputar semaunya, seenaknya
kebohongan, logika, realitas, fakta, mimpi dan fenomena
membaur dan tumbuh melebur dalam jiwa munafik
fatamorgana mampu mengaburkan, bahkan membalikkan sekaligus
doktrin, hegemoni, prinsip...
saat mengendap dan mengakar kokoh di kepala
sang jiwa penguasa berhasil merebut kursi kejayaan
entah atas peretujuan berapa banyak
dari sang akar rumput yang mengiba turunkan hujan semi kesuburan
memohon lestarikan kedamaian yang sudah seharusnya digariskan
mengharap kedamaian dalam pelukan layaknya bunda penyayang
tapi sang induk kehilangan ikatan batin
terlena dan hilang, demi kenyamanan sang goyangan kursi kejayaan
air kesejukan meluruh peluh menjadi darah pilu
erangan kegelisahan terabaikan menjadi nyanyian akrab sang akar rumput dalm derita
tulang-tulang melangkah lunglai dalam balutan selembar kulit yang menyusut hingga kering
bunda semakin perih semakin perih di kepeningan
kemuliaan dan kesempurnaan hati manusia
tak ubahnya tikus yang paling menjijikkan
lihatlah!
jerami-jerami mengering sebelum tiba masa
bijih padi tak sempat menguning dipanen paksa
jika bunda telah memberik segalanya dalam semua mutiara alami, duniawi,
yang dipenuhi surga tak tertandingi
mengapa masih mengiba kepada muslihat tipu daya ciptaan tikus-tikus tak berguna?
bukankah dulu bisa direngkuh semuanya tanpa harus berteriak hingga kering tenggorokan?
Sang idealis mengutip nyanyian jiwa mereka
meleburkan dalam jargon
mengendap menjadi keyakinan
teriakan hati berperang dengan realita
yang semakin menteror, mendobrak benteng idealis
hantu kengerian akan kenyataan menjadi boomerang
menghancurkan teori-teori yang terpatri menjadi kitab suci
batas kebenaran dan kepalsuan semakin kabur oleh fakta yang tersaji di depan mata
bukan benar atau salah,
karena nilai itu sudah kabur bahkan luntur
tapi menang atau kalah
bila alibi bisa membenarkan keyakinan-keyakinan yang telah teranut selama ini
lafadz-lafadz bak hadist beradu dalam argument
peperangan logika menguras ruang pikiran manusia
tapi alam terus melanjutkan tugasnya pada perputaran masa
teteap dalam fitrah mereka
tetap dalam siklus, ruang, rantai, komunitas dan habitatnya
takdir?
suratan?
garis kehidupan?
keserakahan menggerakkan tangan manusia
mengubahnya demi kehendaknya dengan rekayasa
kini
apakah mereka hendak menolak
serangan balik boomerang dari diri sendiri?
by: Alfi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar