Minggu, 05 Oktober 2014

RESENSI NOVEL “KUNANG-KUNANG ROCK ’N ROLL”


Hmmm… harus dimulai dari mana ya? Sebenarnya takut bikin resensi novel ini. Takut kalau ceritanya justru melenceng dari harapannya Mbah Jim. Mbah Jim, begitulah nama Facebook-nya. Penulis Novel “Kunang-kunang Rock’n Roll”. Tapi baiklah, akan kucoba sebisaku. Buat Mbah Jim, inilah resensi bikinanku. Ini berdasarkan sudut pandangku. Tentu saja bukan sudut pandang Mbah Jim. Ok! Cerita dimulai…….
Novel “Kunang-kunang Rock’n Roll”ditulis oleh seseorang yang lebih dikenal dengan nama Jim. Dalam halaman terakhir buku novelnya, ia memperkenalkan diri dengan nama pena Jimmo Morrison. Apakah ini nama beneran atau tidak, aku tidak tahu. Mungkin dia tidak ingin menjadi orang terkenal. Sehingga dengan penuh kerendahan hati sang empu hanya menyebut dirinya orang biasa dan tidak mau menyebutkan lebih detail riwayat hidup maupun pendidikannya. Sepertinya dia suka main petak umpet. Tenang…. Telusuri saja lewat kisah di novelnya. Itulah riwayat hidupnya. Hihihihi.
Novel ini menceritakan perjalanan hidupnya di masa remaja yang penuh gejolak dan mimpi-mimpi yang tak terkendali. Bersama kawa-kawannya, Jim berusaha mewujudkan mimpi mereka menjadi rock star. Mimpi yang mereka bangun sejak SMA. Tak terkecuali kisah cintanya yang nyentrik, karena Jim memang orang yang antik, turut mempercantik novelnya. Karena sebenarnya novel ini sejatinya dibungkus kisah cintanya dengan sang gadis manis bernama Marta, baik di awal bab dan terakhirnya. Tentu saja dia membalutnya dengan kisah fiksi dan aku tidak tahu, bagian mana yang disebutnya fiksi. (Itu sebenarnya sedikit bocoran saja darinya)
Dari halaman pertama membuka dan membaca novel ini, aku cukup bisa menikmati isi ceritanya, hingga terbawa ke dalam imajinasi kisahnya. Dengan gaya bahasa yang lugas dan selera humorisnya yang apik, nampak sesekali menghiasi dari setiap bab, sehingga seringkali membuatku tidak sekedar tersenyum, tetapi juga ngakak tak karuan. Hush!

Diawali dengan cerita alur mundur, Jim memberikan judul “Pertemuan Pertama”. Ya, pertemuannya dengan Marta di sebuah café, Jim mengajak alam pikiran pembaca berjalan ke lorong waktu masa lalu. Ia mulai berkisah di masa SMA yang merasa tertekan selama menempuh pendidikan di sekolah pilihan orang tuanya. Walaupun sebenarnya sekolah itu merupakan sekolah terfavorit di kotanya. Tapi jim justru merasa “teresesat” berada di sana. Dengan terpaksa Jim memenuhi keinginan orang tuanya. Jim tidak pernah memiliki prestasi akademik yang bagus, bahkan bisa dibilang hancur. Hobi membolos, membuatnya menjadi murid terkenal karena perilakunya yang buruk. Jim lebih memilih menekuni dunia music ketimbang sekolah. Tak tanggung-tanggung music pilihannya adalah music rock, dan yang menjadi Kiblatnya adalah The Doors, Gun N Roses, Metallica. Idolanya adalah Jim Morison. Sampai-sampai menyebut dialah nabinya. Ha, siapa mereka ya?! Hmmmmm…..
Bersama sahabat-sahabatnya, Roni, Erwin dan Hasan, Jim ingin memiliki Group Band terkenal dengan aliran music Rock’n Roll. Jim juga menceritakan bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang gadis yang sempat dibilangnya “penampakan”. Karena mungkin Jim belum pernah melihat gadis secantik Marta. Begitu nama gadis pujaannya. Seorang perempuan yang berotak encer dan ahli di bidang Biologi di sekolahnya. Sebegitu dalam persaannya pada sang gadis hingga dia rela seringkali jadi sasaran bahan olokan kawannya jika ketahuan sedang melamunkan sang pujaan.
*********
Selanjutnya Jim menceritakan bagaimana dia juga pernah terdampar di Negeri Paman Sam alias Amerika. Niat semula untuk bekerja menjadi pembuat music sebuah film akhirnya menjadi kandas gara-gara kecemburuan sang bos yang diputus sama ceweknya. Sehingga dia harus rela menjadi pembantu koki di sebuah restoran demi menyambung hidupnya di Negeri Super Power ini. Hingga suatu ketika datanglah sang Dewi penyelamat, Marina namanya. Perempuan cantik keturunan Indo Pakistan ini adalah kawan kuliahnya dari Jakarta yang akhirnya meminjaminya sejumlah uang agar dia mau kembali ke Jakarta.
Nah, sekembalinya Jim di Jakarta, Marina mempertemukannya kembali dengan kawan karib yang lama tak ketemu, Roni. Roni yang kini memiliki perusahaan label music masih berhasrat untuk mengajak Jim mewujudkan impian lama mereka yang tertunda semasa SMA dulu. Membentuk band dan punya album sendiri. Namun rupanya Jim justru sebaliknya. Jim tak lagi bersemangat untuk kembali membangun karirnya ke jalur music. Roni juga tak mau menyerah, dia tetap berusaha membujuk Jim. Hingga Jim pun menyerah dengan syarat Hasan dan Erwin juga mau bergabung kembali seperti dulu. Dan Roni menyetujuinya.
***********
Jim juga menceritakan sedikit tentang orang tuanya. Meski sebenarnya dia tidak suka, Jim menguraikan bagaimana ketidak harmonisan kedua orang tuanya yang akhirnya  keduanya harus berpisah. Yah, Semoga Jim diberi kekuatan dan ketabahan ya…! eh, resensi ngelantur ini. Jim sudah kuat, tau! Baiklah, tak perlu diperpanjang bagian ini. Diabsen saja biar ndak kancrit. Hahahaha…. Sory, mbah Jim. Ups!
Akhirnya dengan susah payah Roni berhasil membujuk Erwin dan Hasan berkumpul kembali untuk membangun Band impian mereka yang kemudian diberi nama “KUNANG-KUNANG ROCK’N ROLL”. Nama Kunang-kunang ini terinspirasi oleh gadis pujaannya, Marta yang suka menangkap kunang-kunang.
Di bab “MASIH ROCK’N ROLL”, aku sedikit terganggu karena editor kurang jeli dengan tulisan “Selamat dating”. Benci sama MS Word yang sok membenarkan tulisan Indonesia. Ya, itu soal teknis saja, mbah. Baik, lanjut.
************
Sekian lama vacuum bermain music, ternyata gak mudah bagi Jim untuk mengembalikan jiwa “Rock’n Roll-nya”. Butuh waktu untuk pemanasan. Akan tetapi obsesi untuk memiliki sebuah karya sendiri dan usia 27 tahun yang dianggapnya sacral, rupanya sanggup menjadi motivator yang kuat untuk mengembalikan jiwa musiknya. Usia 27 tahun?! Ya, Jim begitu meng-sakralkan usia 27 tahun hingga membahasnya pada bab tersendiri di novelnya.
Mengawali karirnya, KUNANG-KUNANG ROCK’N ROLL mengikuti sebuah ajang festival yang diadakan di kota kembang, Bandung. Sayang, awal yang tidak bagus. Karena di moment inilah akhirnya Jim harus rela kehilangan pendengaran telinga kanannya. Sebuah gerombolan pemuda tiba-tiba menghajarnya termasuk personelnya, karena dendam di masa lalu, saat mereka sedang aksi di pentas tersebut. Jim dianggap merebut cewek salah seorang dari gerombolan tersebut.
*************
Akhirnya Jim memutuskan pergi ke sebuah Kota kecil, Mojokerto, setelah kemampuannya bermain music benar-benar lumpah akibat telinganya yang tuli sebelah. Di kota inilah Jim akan memulai babak hidup yang baru lagi. Dimas, adalah sahabat kecilnya. Dari dia, Jim yang semula ngebet berkarir di dunia music, akhirnya justru menikmati profesi barunya sebagai penulis. Tinggal di sebuah toko buku bekas milik Dimas, membuatnya banyak belajar dalam dunia kepenulisan. Hingga dia tak menyangka banyak tulisannya yang diterima dan dimuat media massa, bahkan berhasil menerbitkan novel. Namun, tak lama menikmati profesi sebagai penulis, lagi-lagi Jim harus menghadapi kenyataan pahit. Dimas tak pernah menceritakan penyakit yang dideritanya sampai akhir hayatnya. Jim kehilangan sahabatnya, Dimas meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya sejak lama.
Sepeninggalnya Dimas, Jim kembali ke Jakarta. Sebagaimana yang disarankan Dimas dalam suratnya. Setelah menyelesaikan segala urusan dengan Raisa yang merupakan mantan isteri Dimas yang tak pernah diceritakan Dimas semasa hidup, Jim meninggalkan Mojokerto menuju Ibu Kota.  
Selama perjalanan menuju Jakarta, di dalam kereta api, rupanya Jim bertemu dengan kawan SMA-nya, Jarwo. Teman ahli Matematika yang ingin sekali mencoba ikut membolos sekolah karena stress akibat pelajaran. Tapi sayang, meski lama tak jumpa Jim tidak begitu tertarik ngobrol banyak dengan Jarwo. Dia lebih menjadi pendengar setia hingga tertidur dalam kereta. Yah, mungkin suasana hatinya masih berduka ditinggal Dimas. Hingga tiba di Jakarta pukul 7 pagi, sudah sambut oleh Roni yang membawa papan bertuliskan namanya.
Kembali ke Jakarta sebenarnya bukan keinginannya. Tapi Dimas menginginkan dia mengembangkan bakat menulisnya hingga tingkat nasional, bahkan kalau perlu internasional. Dia menolak tawaran Roni untuk menjadi manajer KUNANG-KUNANG yang pernah dia dirikan. Karena menurutnya kembali ke Jakarta bukanlah untuk kembali ke dunia music, melainkan menekuni profesi seorang penulis. Roni memaklumi. Sementara Hasan telah menikah dengan Mia, wanita yang begitu diidamkannya semasa SMA, dan menikmati masa kejayaannya sebagai seorang musisi yang terkenal dan kaya. Begitu pula Erwin memperkenalkan pacar yang bernama Venus. KUNANG-KUNANG berhasil melambungkan nama personelnya menjadi artis. Beberapa puisi bikinan Jim telah dijadikan album music KUNANG-KUNANG. Pada perjalanan kisah selanjutnya, lagi-lagi Jim harus menerima cobaan yang pahit. Hasan yang menjadi salah satu personel KUNANG-KUNANG harus meregang nyawa karena overdosis. Tak pernah disangkanya, Jim menginginkan band yang bersih akan narkoba, ternyata justru kawannya sendiri yang terjebak dan kini menghembuskan nafas terakhirnya. Begitu frustasinya Roni kehilangan Hasan, membuatnya kalap tak bisa mengendalikan diri hingga dia harus masuk penjara karena membunuh seorang residivis yang menyebabkan meninggalnya Hasan.
Betapa Jim teringat masa Band-nya yang dulu juga kehilangan seorang vokalis, Dodi, karena overdosis. Sehingga orang tua Dodi menyalahkannya sebagai penyebab kematian Dodi. Sejak saat itu sebenarnya Jim menginginkan Band-nya anti narkoba dan freesex. Salut dah, buat Mbah Jim.
**************
Jim yang kini seorang penulis terus mencari penghidupan melalui karya-karya tulis yang dikirimkannya ke beberapa media massa. Termasuk tulisannya tentang kesakralan usia 27 tahun. Di usia yang menurutnya keren jika meninggal dunia. Usia yang matang untuk bikin sebuah karya besar. Karena idolanya meninggal dunia di usia muda, 27 tahun. Hingga tulisan ini jatuh ke sebuah Majalah yang dikelola Marta. Rupanya Marta lebih memilih dunia jurnalis ketimbang menjadi ahli Biologi. Di bab tersendiri, Jim juga menceritakan kisah tentang Gadis pujaannya yang bertengkar dengan pacarnya, Alex. Kedua pasangan ini rupanya sudah mulai tidak sejalan dalam pemikiran mereka. Karena Marta tidak lagi tertarik untuk meneruskan bakatnya dalam dunia sains. Dia melihat jurnalis lebih menarik hatinya karena tantangannya yang lebih membuat hidup berwarna.
*************
Erwin melanjutnya karirnya dengan menyanyi dari café ke café demi menghidupi dirinya. Dia tak ingin bersolo karir. Baginya tak ada KUNANG-KUNANG, berarti tak ada dirinya juga. Hingga tiba saatnya Roni menikmati kebebasannya keluar dari penjara. Hendak merayakan kebebasan Roni, di suatu dini hari. Erwin, Jim dan Roni bermaksud mencari makan di sebuah warung yang masih terlihat ramai orang. Namun tiba-tiba Roni diserang oleh sekelompok orang yang ternyata adalah kawan dari orang yang dia bunuh. Roni terkena tusukan yang mengenai punggung hingga menembus dadanya. Roni jatuh tersungkur mengeluarkan darah. Dia tak tertolong lagi, hingga menghembuskan nafas terakhir. Roni meninggal dunia di usia yang belum mencapai 27 tahun. Lagi-lagi Jim menanggung kepedihan hati karena kehilangan sahabat yang kesekian kali. Dikisahkannya nasib Erwin selanjutnya menjadi orang yang frustasi dan ingin bunuh diri karena trauma atas peristiwa penusukan Roni yang terjadi di depan matanya hingga menyebabkan meninggalnya Roni. Erwin selanjutnya memutuskan bekerja menjadi relawan di sebuah panti rehab, tempat dimana dia dirawat.
*********
Di bab terakhir, Jim mengajak pembaca untuk kembali ke masa pertemuannya dengan Marta di sebuah café. Pertemuan yang tak pernah direncanakannya. Meskipun Jim begitu membenci pertemuan, tapi bisa terlihat betapa Jim sebenarnya ingin sekali menumpahkan segala perasaannya pada Marta. Jim tak menyangka jika selama ini ternyata Marta justru membuntutinya melalui karya-karyanya. Baik album KUNANG-KUNANG dalam sebuah kaset, maupun tulisan-tulisannya yang pernah terpublish di media massa. Marta ingin sekali memastikan perasaan Jim terhadap dirinya yang sebetulnya Marta juga merasakan hal yang sama terhadap Jim. Ehm! Benar bukan?!
***********

Tada! Selesai sudah yang berarti lunas sudah janjiku padamu, Mbah Jim. Cuma, mbah Jim juga nggak teliti atau aku yang salah? coba lihat halaman 110 novelmu. Itu sepertinya harusnya tertulis nama “Hasan”, tetapi kenapa tiba-tiba menjadi “Roni”?????? lagi-lagi soal teknis sih, tapi aku merasa terganggu ketika benar-benar tenggelam dalam imajinasi cerita, tiba-tiba merasa ada yang nggak nyambung. 
Nah, Mbah Jim. Terima kasih sudah memintaku bikin resensi novelmu. Aku merasa terhormat aja. sayangnya mungkin Mbah Jim tidak merasa puas. Maap, kalo ada yang kurang atau salah. Salam Rock'n roll!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar