Di pegunungan lereng gunung Wilis. Itulah tempat tinggal mereka. Di sanalah bocah-bocah lucu, pintar dan antusias menghabiskan waktu bersenda gurau, bermain, bersekolah dan menikmati hari-hari bersama. Sekilas, mereka adalah bocah-bocah layaknya anak-anak seusia SD pada umumnya. Ada yang menarik perhatianku, ketika ketemu langsung dengan mereka. Hari Minggu, aku sempatkan diri untuk main ke tempat mereka. Sebuah senyum simpul merekah di bibirku, tatkala kegembiraan yg merekah ruah tertumpah di wajah mereka dengan memeluk salah seorang temanku.
Aku terheran dengan ekspresi mereka yang begitu spontan. Seperti ada kerinduan yang terpendam sekian lama dan baru menemukan induknya. Siang hari itu, kami bertiga sempatkan untuk mengunjungi mereka sambil membagi-bagikan sedikit hadiah kecil untuk mereka. Bisa dibayangkan, betapa senangnya mereka menerima pemberian temanku. Hanya beberapa bolpoin lucu dan tasbih yg unik itulah yang diberikan. Walaupun terkadang, aku menilai sikap mereka terkesan berlebihan. Tapi aku juga tidak bisa menganggap ini hanya akting mereka. Mereka adalah bocah-bocah yang masih polos, apa adanya. Mana mungkin mereka membohongi kami?
Hhhh!! aku mendesah pelan tanpa suara. Ada keprihatinan dalam hatiku terhadap nasib mereka di masa mendatang. Menurut cerita temanku, yang sudah lebih dulu dan sering mengunjungi mereka, di daerah itu banyak terjadi pernikahan di usia dini. Bahkan kebanyakan mereka setelah lulus SD sudah dinikahkan. Setiap hari mereka menempuh perjalanan ke sekolah dengan berjalan kaki. Padahal jarak yang mereka tempuh diperkirakan bisa memakan waktu 1 jam lamanya. Tapi toh, itu tidak pernah menjadi persoalan bagi mereka. Padahal aku melihat sinar harapan dan cita-cita yang begitu besar dan mereka gantungkan di awan. Semua itu terlihat dari antusiasme mereka ketika kami membimbingnya belajar. Yang membuatku terhenyak adalah, ternyata kecerdasan mereka juga tidak kalah dengan anak-anak sekolah yang ada di perkotaan. Bahkan aku memperkirakan kecerdasan mereka kemungkinan di atas rata-rata jika mengikuti tes IQ. Ah, mereka adalah 6 sekawan yang semuanya adalah perempuan yang manis dan cantik.
Terkadang terlintas di benakku untuk mengabdikan diri kepada mereka.
Jika teringat masa kecilku, aku patut bersyukur apa yang sudah kuperoleh pada waktu itu. Entah apa jadinya jika aku jadi mereka? Tapi, di era jaman sekarang ini, haruskah mereka tidak dapat mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi? Mereka adalah tunas-tunas Bangsa, mereka adalah pemegang tongkat estafet selanjutnya untuk masa depan kepemimpinan Negeri ini. Mereka adalah aset bangsa yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Haruskah cita-cita mereka terhenti sampai di situ?
Sedih dan terharu bercampur menjadi satu di dalam sanubari. Aku semakin terhenyak, ketika mereka menahan kepergian kami. Waktu sudah semakin sore, kami tidak mungkin berlama-lama tinggal di sana. Tapi, mereka semakin kuat untuk menahan kami. Akhirnya, kami luangkan waktu untuk mengajari mereka mengerjakan tugas-tugas sekolah. Barulah mereka merelakan kepergian kami.
Ah, adik kecil. Ada saja ulah kalian yang membuat kami tersenyum saat melepas kepergian kami. Dengan bernyanyi kecil mereka mengantar kepulangan kami meninggalkan Dukuh Badut yang jauh dari akses segala fasilitas pelayanan umum apalagi sarana transportasi umum.
Semangat kalian memberikan sinar harapan di masa depan yang cerah. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar