MERAIH ASA YANG
TERSISA
Senja tak memberikan restu
Langkah kaki tertahan juga untuk menunda demi esok hari
Kebimbangan memaksa untuk mengambil keputusan
Senja tertutup awan kelabu
Menggelayut setelah menumpahkan beban yang tertampung
Warna pekat tak memberikan persahabatan
Enggan tersenyum pada petang yang merayunya dengan sendu
Ah jingga, kenapa jua kau bersembunyi dari balik selimut
mendung
yang terus mencurahkan air hujan tanpa henti
segenggam bara segenggam asa
terserak di atas rerumputan yang tak lagi menghijau
tersingkir dari kultur yang mendiskriminasi
terjustice oleh nilai-nilai dan norma manusiawi
kedua mata itu menatap nanar dan tanpa makna
sementara langkahnya tetap harus melawan waktu
karena dia tak akan mengerti
mengapa dulu sekepal orok merah terlantar pada belasan tahun
lalu
yang tak lain dan tak bukan adalah dia sekarang ini
yang dia tahu sekarang mengais sisa butir nasi
demi dapat menatap mentari esok
bising kereta api setiap saat
adalah nyanyian yang tak merdu mengakrab di telinga
tanah becek tak perlu diprotesnya bila tubuh meminta untuk
merebah
sekedar menampung lelah
rerimbunan ilalang adalah persembunyian yang nyaman
kala preman kampungan mulai mengancam keselamatannya
ah, tanganmu makin kekar
bukan karena kau makin dewasa
tapi karena dunialah yang memaksa jemari kecilmu untuk
mencakar
kerasnya bebatuan dan kerikil kehidupan yang harus kau lalui
tapi nyalimu tak pernah gentar
pada setiap peluh yang mengaliri tubuhmu
pada setiap rasa lapar yang kerap menyiksamu
pada setiap rasa dingin kala hujan mengguyurmu
takdirmu yang diciptakan Tuhanmu kau lalui
entah tersadari entah tidak olehmu
yang kau tahu, kau harus bertahan demi “hidup”
pendidikan, kesehatan, ekonomi, tata karma
atau bahkan pranata apa yang tak teraba oleh telingamu
pernahkah kau dengarkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar