Senin, 23 April 2012

Petuah dari Griya Cinta Kasih

Sekian lama tak mengisi blog. Kini seperti ada inspirasi baru mengisi energi kembali. hhhhhft, melepas lelah sejenak. Sebelum kemudian jemari ini memulai untuk menari di atas keyboard. Cerita kali ini sangat menarik perhatianku. Ya, tentu saja. Karena pengalaman ini memang aku sendiri yang mengalaminya. 
Seminggu yang lalu, agendaku untuk mengunjungi adik tercintaku telah kulaksanakan. Sebenarnya dari dalam lubuk hatiku, ada perasaan merasa bersalah kepadanya. Karena sudah 4 bulan terakhir semenjak awal tahun 2012 kuabaikan dia di sana. Griya Cinta Kasih. Hhh....! Griya Cinta Kasih, semoga tetap memberikan kasih sayang kepadamu adikku. Maafkan aku, adikku. Kasih sayangku tetap akan kuberikan kepadamu sejauh yang bisa aku berikan. Akan tetapi, perhatianku harus terbagi di luar sana. Karena ada kewajiban dan tugas yang harus aku selesaikan. Semua demi dirimu juga. Apakah kau  tahu? Tugas itu cukup menyita waktuku hingga harus mengabaikanmu sejenak saja. Aku tahu, kamu tidak akan mungkin menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi kelak, aku yakin bahwa dengan segenap kesadaran jiwamu. Kamu bisa memahaminya. Tersenyumlah, adikku yang cantik. 

Pagi itu, sinar matahari mulai terik menyapu bumi Desa Sidomulyo, Dsn. Sidowaras, Kec. Jogoroto Kabupaten Jombang. Setelah sekian menit, bahkan mungkin jam berputar-putar dengan becak menyusuri kelokan jalan berdebu, karena Bapak tukang becak ternyata tidak mengetahui lokasi persisnya Griya Cinta Kasih, akhirnya aku temukan juga bangunan dengan gerbang bercat warna hijau di tengah sawah itu. Alamat yang masih tersimpan di hp-ku itu memang tidak salah. Akan tetapi rupanya ada yang baru aku ketahui dari alamat itu. Lokasi itu sebelumnya ternyata lebih dikenal masyarakat dengan sebutan "SAMIDAN". Seringkali para tukang becak mengatakan, "coba sampean bilang Samidan, mbak. Semua orang di sini pasti sudah mengetahuinya". "ooooh, Inggih, Pak. Ngaten nggih". Jawabku dengan mengabaikan kata-katanya yang sebenarnya tidak kali itu saja aku dengar dari para tukang becak. Baru pada hari itu, seminggu setelah kunjunganku pada tanggal 15 April kemarin, aku temukan jawabannya mengapa dinamakan SAMIDAN? Bapak tukang becak, menceritakan bahwa SAMIDAN itu berasal dari kata SAMI EDAN, yang artinya pada edan alias banyak yang gila atau sakit jiwa. Dahulunya di dusun itu banyak orang yang mengalami sakit jiwa, sehingga dinamakan SAMIDAN. Namun lambat laun karena kepedulian seorang warga di dusun itu, demi menghilangkan stigma negatif, akhirnya nama dusun itu dirubah menjadi SIDOWARAS yang artinya jadi sembuh atau waras atau jiwa sehat. Dengan merubah nama dusun itu tersebut, sudah jelas memang ada harapan agar warga di sana tidak ada yang mengalami sakit jiwa. Hmmm, mengapa aku baru mengetahuinya ya? Ternyata bepergian ke sana seorang diri dengan naik becak pun ada hikmahnya juga. hihi..... buktinya aku jadi sedikit tahu asal-usul nama dusun itu. Akan tetapi cukup bikin puyeng kepala, karena selalu saja nyasar. Ah, tidak mengapa. 
Hmmm.... masih seperti dulu, sebuah musholla yang berdinding dan berlantaikan kayu dan sedikt perluasan lantai porselen yang tak seberapa luas itu sudah dipenuhi oleh para tamu laki-laki dan perempuan. Rupanya aku sedikit terlambat, karena acara sudah dimulai. Orang-orang begitu perhatian dengan ceramah yang disampaikan. Seorang laki-laki dengan penampilan yang sangat sederhana, hanya sebuah hem berlengan pendek dan celana panjang sedang menyampaikan petuahnya di tengah-tengah para tamu. Penampilan memang boleh dibilang sederhana, akan tetapi isi ceramahnya inilah yang sangat membuat para tamu termasuk aku yang membuat kepala selalu manggut-manggut dan menggumam karena tercengang atas penuturannya. Dengan menggunakan bahasa Indonesia bercampur Jawa, Beliau ini menceritakan dengan luwes segala peristiwa yang terjadi selama di Griya Cinta Kasih. 
Merekatkan tali silaturrahmi antara keluarga pasien dengan pengurus dan terutama dengan pasien sendiri. Ini adalah yang pertama dari isi ceramah Beliau. Sejenak aku menebarkan pandangan ke seluruh bangunan di sekitarnya. Masih ada beberapa kamar yang berdinding bambu dan berlantai kayu. Meskipun kini sudah ada beberapa bangunan yang dibangun dengan tembok dan berlantai porselen. Rupanya itu tidak mampu menampung pasien yang kini jumlahnya mencapai 200-an orang lebih. Begitulah informasi yang disampaikan oleh Pak Jami'in, Ketua GCK yang sedang menyampaikan petuahnya. Terlihat beberapa orang yang terbatasi oleh pintu bambu ala kadarnya tengah bergerombol melihat para tamu yang sedang duduk di musholla. Ya, merekalah para pasien. Banyak diantara mereka yang kesannya memang sengaja "dibuang" atau "disingkirkan" oleh keluarga mereka karena menderita sakit jiwa. Hal itu sudah jelas karena mereka tidak pernah dikunjungi oleh sanak saudara mereka. Hmmm... memprihatinkan. Akan terlihat, siapa yang benar-benar peduli terhadap sesamanya. Jangankan terhadap sesamanya, terhadap sanak saudara sendiri saja, rupanya membuat mereka enggan untuk mengakuinya. "Coba ibu-ibu dan bapak-bapak lihat mereka. mereka itu jumlahnya ada 200an lebih. Tetapi yang datang pada hari ini, apakah jumlahnya mencapai 200 orang?" Kata beliau menekankan. Ya, mereka juga tidak menginginkan itu terjadi kepada mereka. Mereka adalah manusia yang seharusnya kita rawat dengan penuh kasih sayang. Mereka para pasien, hanya dengan dengan rasa kasih sayang. Kasih sayang yang utuh. Memanusiakan manusia. Tidak ada obat-obatan tertentu atau semacam "mantra" untuk mereka. "Akan tetapi, alhamdulillah Bu. Mereka sudah ada yang sembuh total". "Saya tidak mengharapkan uang sampean atau sumbangan sampean. Tetapi jenguklah saudara sampean yang ada di sini. Saya berusaha, sampean juga berusaha. Ya dengan cara seperti ini saya bisa mengumpulkan sampean. Supaya sampean mengetahui kondisi di sini seperti apa". Lanjut Beliau. 
Pandanganku terhenti di musholla yang memang dari awal aku kunjungi tetap seperti itu kondisinya. Dinding dan lantai kayu. Menurut cerita Pk Jami'in, Musholla tersebut hanya dikerjakan oleh beliau dibantu 2 orang. Begitu juga sebuah aula yang dimaksudkan untuk kantor Yayasan. Kondisinya sama, lantai kayu dan berdinding bambu. Beliaulah yang mengerjakannya. Bahkan tembok-tembok yang terbuat dari bambu itu sudah beberapa kali jebol karena kelakuan para pasien yang mengamuk. 
Nah, menurut rencana Beliau, lokasi hendak diperluas hingga beberapa hektar. Beliau berencana membeli tanah persawahan yang ada di samping lokasi. Harganya sekitar 100 juta lebih dan menurut cerita Beliau, sang pemilik tanah meminta supaya dilunasi dalam waktu seminggu ini. Padahal Beliau masih memiliki uang sekitar 50 juta. Hmmm..... kembali para tamu dibuat terdiam dan berpikir. "Kulo nyuwun dongane njenengan sedoyo mawon. Mugi-mugi dalam waktu dekat ini angsal yotro maleh. nggih". Kata Beliau. Menurut Beliau, sudah beberapa kali mencoba meminta bantuan kepada Pemerintah Daerah. Namun hingga saat ini belum ada respon dari mereka. "Mungkin belum di acc, barangkali". Kata Beliau menghibur. 
Ya, memang tidak sekali itu saja terjadi. Pernah ada bantuan yang hendak diturunkan, akan tetapi Beliau menolak karena adanya potongan. Yah, Beliau tidak menginginkan niat baik Beliau dinodai oleh KORUPSI. Mending tidak menerima bantuan tersebut, daripada "Menari di atas penderitaan para pasien". Tegas Beliau. 
Toh, beberapa bangunan yang sudah ada, Beliau peroleh dari bantuan Jepang. Sebuah mobil, juga didapatkan dari bantuan Negara Australia dan beberapa bantuan dari Solo. "Kenapa tidak mendapatkan dari Jombang ya?" celetuk Beliau. Alhamdulillah.... sambung Beliau lagi. 
Sebenarnya cerita ini belum seberapa. Ada beberapa tingkah polah para pasien yang tentunya bikin dahi jadi berkerut. 
Tapi bersambung dulu......


1 komentar: