Jumat, 04 Februari 2011

Study Lapang Ke Lereng Gunung Wilis - 2

Waduh, baru sempat posting cerita ini nih. Maklum, kelupaan. Sebelum hilang dari ingatan, maka mumpung pikiran masih "on" di tengah malam, aku sempatkan untuk menulis cerita ini. 
Ok, kelanjutan dari artikelku yang pernah aku ceritakan sebelumnya, Study Lapang ke Lereng Gunung Wilis - 1. Kami melanjutkan kunjungan ke sebuah Home Industry yang berbeda yaitu kerajinan tempurung kelapa. Masih di Desa yang sama, yaitu Desa Grogol, Kecamatan Grogol dan Kabupaten Kediri. Inilah galeri foto yang menunjukkan beberapa hasil kerajinannya yang sempat kami dokumentasikan. 







 Tempurung kelapa, atau biasa kita sebut Bathok, pada umumnya akan dibuang begitu saja setelah dipisahkan dari buahnya. Hal itu bisa kita lihat di pasar-pasar tradisional. Namun, lain lagi bagi seorang Kasun di Desa ini. Inilah  yang menarik, justru dari sinilah, dia mampu melihat nilai lebih dari  sebuah benda yang sederhana dari tempurung kelapa atau bathok,  kemudian menyulapnya menjadi benda-benda yang bernilai ekonomi tinggi seperti  cangkir, entong, mangkuk, ceret, irus, alat pemijat dan peralatan  rumah tangga lain, yang juga dikombinasikan dengan kerajinan kayu. Begitulah informasi yang aku peroleh dari seorang warga yang sempat aku ajak bicara.
Berangkat dari ide seorang laki-laki yang memiliki jabatan sebagai Kepala Dusun di Desa Grogol inilah akhirnya usaha ini dirintisnya. Awalnya dia memiliki peralatan sederhana yang bisa memisahkan tempurung kelapa dengan buahnya. Untuk mewujudkan niatnya merintis usaha kerajinan ini, demi mendapatkan bahan bakunya, setiap orang yang hendak menggunakan jasanya tidak perlu membayar serupiah-pun kepadanya, melainkan memberikan setiap tempurung kelapa kepadanya. Agar dia menghasilkan kerajinan-kerajinan tersebut, maka dia menyarankan orang-orang yang umumnya adalah ibu-ibu yang menggunakan jasanya untuk menggunakan kelapa yang memiliki tempurung yang unik dan kecil sehingga bisa dijadikan kerajinan yang unik pula. Rupanya hubungan mutualisme ini disambut baik oleh warga setempat. Terbukti dia mampu merintis usaha kerajinan ini sudah sejak belasan tahun yang lalu. Bahkan konsumennya juga datang dari luar kota seperti Kota Malang yang sampai saat ini masih intens order kepadanya. Masih menurut salah seorang warga yang aku wawancarai secara tak langsung.

Berikut adalah peralatan yang digunakan untuk memisahkan buah dari tempurung kelapa/bathok & proses pembuatan kerajinan : 










Menarik! pikirku. Di tengah persaingan usaha yang ketat dan di tengah era Globalisasi, usaha kecil ini mampu bertahan hingga sekarang. Hanya saja yang menjadi pertanyaanku adalah, kenapa tidak dikembangkan lagi? Apakah karena persoalan modal, atau apa? Yang jelas, seharusnya inilah yang menjadi perhatian serius bagi pemerintah Indonesia, jika memang benar-benar hendak memajukan perekonomian negeri ini. Karena aku teringat sebuah artikel (waduh lupa) yang menceritakan hak paten seorang pengrajin Indonesia diambil oleh warga asing, gara-gara ketidaktahuannya akan hak intelektualnya. Padahal sang pencuri (hak paten) tersebut sebelumnya adalah pelanggan setianya selama bertahun-tahun. 
Nah, catat tu.... jangan sampai kecolongan lagi ya. Sayangnya aku lupa pernah membaca dimana ya? 
Ok, segini dulu dech ceritanya. Sudah mengantuk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar