Selasa, 15 Maret 2011

Oh….. COPET!!!!!!!


Perjalanan pulang-pergi ke dan dari Surabaya – Kediri, ternyata cukup melelahkan. Menurut perhitunganku, rata-rata selalu memakan waktu 3,5 jam dan aku bias memastikan bahwa penghitunganku tepat ketika sampai di tempat tujuan.
Kira-kira bulan Januari 2011 lalu, kejadian itu menimpa diriku. Perjalanan balik dari Kediri – Surabaya kembali aku lakukan. Hari Senin pagi sebenarnya tidak begitu ramai penumpang Bis Surya Indah dengan tujuan perjalanan Surabaya. Akan tetapi, aku ingat betul waktu itu ada beberapa penumpang yang sudah bapak-bapak pada cerewet banget. Nggak tahu kenapa, yang jelas perjalananku selama kurang lebih 3,5 jam itu membuatku semakin stress di tengah sesaknya seliweran pedagang kaki lima dan para pengamen. 
Sebenarnya untuk keramaian pengamen dan pedagang kaki lima sudah menjadi pemandangan yang biasa bagiku. Akan tetapi yang sangat membuatku frustasi adalah kepulan asap rokok para penumpang yang tiada hentinya. Hingga terselip do’a “lebih baik dipenuhi pedagang kaki lima dan pengamen, asal bersih dari asap rokok”. Sungguh, untuk yang satu itu aku sulit mentolerir lagi. Ujung-ujungnya aksi menutup hidung dan mulut yang aku lakukan. Ah, betapa menderitanya menjadi perokok pasif. Istilah nggak makan buah nangka tapi kena getahnya juga, resiko mengidap penyakit malah dua kali lipat dari perokok aktif. Duuuuh.
“Ah, ya sudahlah, mau diapain lagi?”, bisikku menghibur hati. Perjalanan menuju Kota Surabaya yang kali ini aku rasakan sangat alot. Kupasang sebuah MP3 kecil yang terselip disakuku. Semoga bias sedikit mengurangi stressku selama perjalanan dengan mendengarkan lagu-lagu yang ada di MP3. Setibanya di Mojoangung, bis berhenti beberapa saat. Biasa, ngetem. Udara semakin panas, apalagi jika bis berhenti, udara serasa tambah panas. Gerah semakin diperparah dengan serangan asap rokok yang menyerbu. Plis deh, pak supir… tolong jangan kelamaan ngetemnya. Jadi tersiksa nih, menjadi perokok pasif di siang hari yang panas. Waaah, jadi penumpang serasa seperti dioven saja. Hfffft…..!!!
Kembali bis melanjutkan perjalanan. Satu persatu penumpang mulai sedikit berkurang, akan tetapi satu persatu penumpang baru juga naik bis. Ah, tidak terlalu penuh kok. Pikirku. Tetapi kok para penumpang bapak-bapak yang ada di sampingku ini cerewet banget sih. Sok ngatur penumpang lain yang mau turun. Padahal tujuan masih agak jauh. Apalagi mereka juga bukan kondekturnya. Aku sedikit terganggu dengan kelakukan mereka. Entah mengapa aku memiliki firasat buruk untuk hari itu.
Pertama kali aku menaiki bis Surya Indah yang menurutku jelek fisiknya. Karena biasanya bis Surya Indah itu bagus-bagus body-nya. Kenapa kali ini tumben mereka meluncurkan yang jelek. Atau aku saja yang tidak pernah tahu ya? Pikirku iseng. Pikiranku mulai mengembara tak tentu arah. Hingga tak jarang aku tertidur.
“Sepanjang sepanjang….”, teriak sang Kondektur. Tiba-tiba aku terbangun dari tidur. Para bapak-bapak yang cerwet tadi membaca gelagatku yang sedikit kaget. “mau turun mana, mbak?” Tanya salah seorang dari mereka. “PLN, pak”, jawabku singkat. “Ayo cepetan berdiri dan maju kedepan sana”. Hah! Gak salah? Kan masih agak jauh. Biasanya pak kondektur pun akan memberikan aba-aba apabila sudah dekat dengan PLN. Aku menurut saja, karena aku sudah tidak tahan lagi untuk berlama-lama duduk di antara mereka. Aku pun bangkit meninggalkan tempat dudukku dan dengan tergontai karena goyangan bis, mulai melangkah merangsek ke depan. Yang semakin membuatku heran adalah beberapa diantara mereka tidak henti-hentinya membuat kehebohan dan keributan di dalam bis kota. Sikap sok ngatur penumpang dan membuat panic penumpang pun tak hentinya mereka lakukan.
Eit, tiba-tiba aku terkaget ketika seorang ibu juga ikutan merangsek ke depan pintu depan keluar bis. Bahkan beberapa bapak-bapak tadi juga ikutan mendesak tempatku berdiri. Situasi berisik dan kacau itu dipecahkan dengan ratapan ibu tadi yang mengaku baru saja kecopetan sebuah handphone. Aduh, kasin banget jika teringat muka ibu itu. Tapi apa yang bias aku perbuat. Secara spontan aku mengeluarkan handphone-ku yang aku letakkan di saku depan tas ransel hitamku. Kalau-kalau ikutan kecopetan. Ah, masih ada. Aku coba mengintipnya, kalau-kalau ada pesan atau panggilan masuk. Kembali handphone aku masukkan di tempatnya semula. Tiba-tiba para bapak-bapak itu semakin mendesak dan mendesakku. Padahal tempat masih agak longgar. Menyadari posisiku semakin terdesak, aku semakin erat memegangi ransel hitamku. Hingga, akhirnya udara segar bias aku hirup juga keluar dan terbebas dari udara pengapnya bis kota. Hah… lega sudah.
Sesampainya di luar. Aku masih harus melanjutkan perjalanan dengan menaiki bis mini warna hijau. Seorang dari bapak-bapak tadi yang ikut turun, terus mengawasiku tanpa aku sadari. Bahkan sampai dia menghilang dari pandanganku. Aku merasa ada yang aneh dengan pandangannya.
Setibanya di kantor, aku langsung membuka ranselku. Karena tiba-tiba aku memiliki firasat yang tidak enak. Benar saja, aku mulai panic ketika tidak kudapati sebuah handphone yang tadi aku masukkan di saku depan ransel hitamku. Kuulangi lagi mengacak-acak isi ranselku dan kuyakinkan diri jika handphone itu benar-benar telah raip. Oh Tuhan!!!! Apakah Engkau memaksaku untuk bershodaqoh kepada pencopet tersebut? Tiba-tiba tubuhku terasa dingin dan lemas. Tanganku gemetaran lantaran baru saja menyadari jika ternyata aku telah kecopetan. Aduuuh, bagaimana aku bias ceroboh sih? Bagaimana aku bias lalai? Tidak biasanya aku tidak waspada terhadao barang-barangku. Ribuan kata bergentayangan menyalahkan diriku sendiri.
Aku masih sempat menghubungi nomor HP-ku. Tapi tidak dijawab. Baiklah aku mencoba berpikir tenang. Yang terpenting adalah aku harus segera memblokir kartuku, agar tidak disalahgunakan oleh pencopet. Apalagi pulsanya masih banyak. Melalui telpon kantor aku berusaha menghubungi operator. Berkali-kali nomor telepon aku hubungi, tidak juga ada yang menjawabnya. Aku semakin kebingungan. Karena persoalannya tidak itu saja, nomor kartu itu juga aku pergunakan untuk layanan SMS Banking. Akhirnya aku coba menghubungi pihak Bank-nya agar nomor HPku ikut diblokir atau dihentikan untuk layanan SMS Banking. Akan tetapi hasilnya sama, NIHIL. Aduh, aku semakin bingung.
Akhirnya jalan satu-satunya adalah menunggu kedatangan teman sekantor untuk mengurus nomor HPku, agar mendapatkan kartu baru dengan nomor yang sama. Syukurlah temanku mau membantuku, sehingga aku menjadi lega dan mendapatkan kartu baru dengan nomor HP yang sama. Pada hari itu juga aku memutuskan untuk membeli HP baru. Padahal HP sebelumnya aku beli baru 3 bulan yang lalu dan kondisinya tentu saja masih 80% bagus. Itulah HP pertama yang benar-benar aku beli dari toko HP dan sebenarnya bukan HP yang mahal. Seharga Rp. 235.000,-. Bukan barang second hand.
Kecopetan HP pada hari itu benar-benar membuatku shock dan trauma untuk menaiki bis yang sama ketika harus menempuh perjalanan ke dan dari Surabaya – Kediri. Kehilangan sebuah Handphone sebenarnya sudah aku ikhlaskan sejak kejadian itu menimpaku. Yang membuatku kelimpungan adalah harus kehilangan semua nomor handphone teman-teman yang pernah aku miliki sebelumnya. Bias dibayangkan, aku tidak bias lagi menghubungi teman-temanku karena tidak ada nomor HPnya.
Sebenarnya sehari sebelum kejadian ini menimpaku, aku seperti mendapatkan firasat atau semacam instinglah, jika akan kehilangan HP itu. Percaya atau tidak, aku seperti merasakan isnting itu. Sehari sebelumnya, pada suatu siang hari selepas dari sebuah Bank milik pemerintah, tiba-tiba HP itu terjatuh dan sempat terpisah antara baterai dan casingnya. Selain itu, sebelum melakukan perjalanan ke Surabaya, shubuhnya aku bergumam pada diriku sendiri sambil menghapus beberapa sms yang sudah lama bersarang di HP-ku. Gumamku “wah, ini sms kok gak aku hapus ya? Hmmm….gimana coba, kalau kecopetan? Bias berabe nih.” Ah, ternyata kejadian juga dech.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar