Malam makin larut, sementara jam dinding tepat menunjukkan pukul 12 malam. Kedua mata ini tidak juga mau terpejam. Resah dan gelisah serta gundah gulana tak karuan sepanjang malam ini. Mungkin itu pemicu insomnia yang sekarang ini aku derita.
Bukan karena persoalan hubungan asmara, karena memang sedang tidak terlibat hubungan asmara dengan siapapun. Apalagi masalah "Broken Heart", karena tidak ada yang membuatku patah hati. Eh, bener patah hati. Sakit, bener-bener sakit hatiku ini. Aku patah hati terhadap negeriku ini. Aku sakit hati terhadap bangsaku ini.
Aku emosional, air mataku dibuatnya tak bisa berhenti. Bagaimana tidak? Belum lama, televisi menyiarkan berita tentang bencana banjir bandang wasior di Papua, selang kemudian muncul lagi berita bencana Tsunami di Mentawai Sumatera Barat. Belum kering air mata, media massa kembali memberitakan meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah yang menyita perhatian penuh seluruh warga Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri.Bencana alam bertubi-tubi melanda kepulauan Indonesia merata dari ujung barat sampai ujung timur. Bahkan Stasion-statiun televisi swasta begitu giatnya meliput, memantau sekaligus turut membantu korban bencana. Merapi, yang saat ini masih belum dinyatakan aman seratus persen, masih memungkinkan untuk terus menampakkan aktifitas yang dapat membahayakan penduduk setempat.
Di tengah kondisi kelimpungan warga Indonesia mencoba bangkit dari keterpuurkan karena bencana alam, aku dikejutkan oleh berita tentang "SUMIATI", salah seorang TKW yang mengadu nasib di Arab Saudi yang menjadi korban penyiksaan. Oh, ya Allah....... apalagi.... ini?
Belum berhenti sampai di sini, karena sebenarnya kisah-kisah serupa seperti yang menimpa Sumiati juga banyak terjadi sebelumnya. Harian KOMPAS juga memberitakan tentang ironisnya Negeriku karena serombongan Anggota Dewan Terhormat yang konon sehabis menjalankan tugas negara, kunjungan ke luar negeri, Moskow, dengan mudahnya "menelantarkan" ratusan TKW yang tengah kebingungan di Bandara Dubai. Tempat yang kebetulan mempertemukan saat akan pulang ke tanah air.
Menetes lagi air mataku. Pilu, ngilu tak karuan. Aku tak bisa lagi memahami Negeriku ini.
Terbongkarnya atau terpublishnya kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh para Tenaga Kerja Indonesia di Negeri orang, rupanya menjadi kisah yang biasa sekali dan lumrah bagi negeri kita.
Kenapa duluuuuuu sekali, tak pernah kudengar berita-berita tentang kasus-kasus kekerasan terhadap para TKW ya? Apakah karena duluuuuuu sekali belum ada stasiun televisi swasta ya? yang ada hanya TVRI, Televisi milik pemerintah. Belum ada harian KOMPAS? Sehingga tidak berani memberitakannya kepada masyarakat? apakah karena memang tidak terjadi kasus semacam itu? Kalau memang benar tidak terjadi, mengapa beda dengan sekarang ini? Apa yang membedakan dulu dan sekarang? Jumlah TKI yang pergi merantau ke luar negeri? Kecenderungan Majikan yang diikuti pada jaman dahulu dan sekarang? Proses penyaluran atau agen penyaluran tenaga kerja ke luar negeri? Ataukah faktor dari TKI itu sendiri? Atau bahkan justeru dari Pemerintah Indonesia sendiri yang bermasalah? Kenapa? Kenapa kasus-kasus mengerikan ini terus saja terjadi sepanjang tahun terakhir ini? kenapa nyawa manusia Indonesia begitu murahnya di negeri orang? Dan mengapa di saat kasus-kasus semacam ini terpublish ke masyarakat tidak menjadikan mereka takut sama sekali untuk mengais rejeki ke negeri seberang? Bahkan jumlah cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun?
Mengapa mereka lebih memilih negeri orang sebagai tempat mencari rejeki, meskipun nyawa taruhannya daripada negeri sendiri? Apa sebenarnya yang mendorong mereka nekat untuk pergi ke luar negeri padahal mereka tahu resikonya? Kemiskinan? Gaya hidup? Pengaruh teman dan lingkungan? pengaruh media yang semakin mudah diakses informasinya oleh masyarakat? Atau justeru dampak pasar global itu sendiri?
Padahal, banyak di antara mereka yang tidak bisa berbahasa asing, khususnya bahasa negara tujuan, tidak mengetahui kondisi negara tujuannya. Bagaimana mungkin mereka mengetahui kondisi negeri orang, sementara di negeri sendiri dia tidak faham? tidak bisa mengoperasikan peralatan-peralatan yang umumnya menggunakan tekhnologi canggih dan tentu saja tidak pernah mereka pegang.
Kira-kira, biasa dibayangkan apa yang terjadi jika dia pergi bekerja ke luar negeri tanpa bekal skill sama sekali? pasti BINGUNG. Kalaupun mereka tidak memiliki semua bekal ini, bagaimana mereka bisa lolos menjadi TKI di luar negeri? Padahal proses yang harus mereka lalui panjang dan lama.
Media komunikasi untuk saling memahami manusia satu dengan yang lain tentu saja menggunakan bahasa. Jika tidak saling memahami bahasa yang digunakan antara satu orang dengan yang lain, bagaimana bisa tersampaikan maksud yang diinginkan majikan? dan bagaimana bisa bertanya jika dia tidak bisa berbahasa asing? Ooooh ribetnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar