Minggu, 04 April 2010

Berbagi Kebahagiaan ataukah Berbagi Kebisingan???

Malam semakin larut, otak terasa capek dan lelah. Tubuh tak kalah lelahnya. Mata mengantuk tapi tidak bisa dipejamkan. Bukan karena nyamuk, juga bukan karena udara yang terasa panas. Soalnya sudah ada AC di dalam ruangan. Melainkan suara-suara di luar maupun di dalam ruangan yang bikin gaduh, sehingga membuat otak semakin stress dan potensi terkena insomnia.

Suara itu berasal dari "orkes kampung" yang diselenggarakan dalam rangka untuk memeriahkan resepsi pernikahan tetangga depan.


Aggrrhhhhhhh!!!!! ingin sekali berteriak dan marah semarahnya sambil bilang “Woiiiiiii, aku punya hak asasi untuk mendapatkan ketenangan nih. Bisa gak sih, untuk berhenti? Lihat jam dinding dong udah menunjukkan pukul 12 malam? Mo nyanyi sampe subuh?”. Bukan, itu bukan diriku. Tapi seorang teman yang terus-terusan mengomel di dalam kamar karena tak bisa memejamkan matanya sejak sore. Sehingga untuk menghibur diri, dia menyalakan TV dengan volume yang dikencangkan untuk menandingi suara orkes di luar sana. Aduh, telingaku terasa ingin pecah.

Iya, aku bisa memaklumi dirinya yang datang ke tempatku untuk menenangkan diri. Tapi nyatanya malah ditambah stress di sini. Aku harus berbuat apa?
Sebenarnya tidak hanya malam ini. Tapi sudah sejak kemarin malam, suara itu sangat mengganggu tidurku. Baru pukul 3 pagi aku bisa memejamkan mata. Sebenarnya bisa dipahami sih, orkrestra ini mungkin untuk menghibur para tetangga karena ingin berbagi kebahagiaan atas diselenggarakannya sebuah pesta pernikahan. Tapi kalau suaranya dibunyikan sampai larut malam, apakah para tetangga juga menikmati hiburan semacam ini? Apakah para tetangga tidak merasa terganggu? Hal ini sudah menjadi tradisi tidak hanya di Kota Surabaya yang aku tempati sekarang ini. Tapi juga di kota-kota kecil seperti Kediri terjadi hal yang sama.

Pernah suatu kali bapakku yang sakit stroke merasa sangat stress karena tidak bisa tidur akibat bisingnya suara sound system yang berasal rumah tetangga yang mengadakan pesta pernikahan untuk satu atau dua hari. Aku merasa sangat kasihan melihat bapakku seperti itu. Yang lebih parah adalah ketika resepsi pernikahan sudah selesai pun, bukannya dimatikan semua peralatan soundsytem itu, melainkan dimanfaatkan “bapak-bapak” atau para cowok lajang untuk begadang sambil bermain kartu dan bersenda gurau. Aduuuuh.

Pernahkah mendengar kata-kata ini (sayangnya saya lupa siapa yang mengatakan hal ini)? Menurut orang Bali, Jawa itu tempat yang berisik, tidak seperti Bali yang sunyi dan tenang. Karena sedikit-sedikit adzan di surau dan masjid di sana-sini. Belum lagi acara-acara perayaan. Tapi menurut orang Jawa, Bali itu terlalu sepi, tidak seperti Jawa yang ramai dan seru. Sehingga membosankan. Terutama kalau pas lagi Bulan Ramadlan, pasti nggak enak banget. Apalagi tidak bisa mendengarkan suara adzan.

Mohon maaf, tidak bermaksud menyinggung soal SARA. Akan tetapi mari melihat budaya dan agama yang dipeluk mayoritas penduduk Bali dan Jawa. Tentu bisa dipahami bagaimana kehidupan di Bali dan di Jawa sangatlah berbeda. Kita tidak bisa memaksakan budaya Jawa terhadap masyarakat Bali kan?! begitu juga sebaliknya. Bagaimanapun Jawa dan Bali merupakan aset budaya Bangsa yang harus dihargai perbedaannya.
Hanya saja, terkadang saya berpikir benarkah Jawa se-berisik itu? Iya kalau hanya satu tetangga yang merayakan pesta pernikahan. Belum lama ini ada dua tetangga sekailgus merayakan pesta pernikahan dalam waktu yang bersamaan. Bisa dibayangkan bagaimana berisiknya? Belum lagi masalah jalan yang harus rela ditutup karena dipakai untuk pesta tersebut.

Ah, mengapa saya memprotesnya? saya kan belum menikah. Terus kalau kejadian? Ups, tapi apakah tradisi semacam ini pantas untuk dilestarikan???? Aduh, saya tidak tahu dech. Mudah-mudahan tidak dech. hihihihi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar