Minggu, 10 Juli 2016

Lebaran 1437 Hijriyah



Malam, bakda maghrib menjelang Isya’. Bertepatan dengan hari ke-5 di hari raya Idul Fitri 1437 Hijriyah. Entah berapa tahun jemari ini tak lagi menari di atas keyboard laptop atau PC, sekedar untuk mencurahkan kegalauan yang bersemayam di kepala. Bertahun-tahun sudah itu tak kulakukan. Aku merasa hambar dengan kata-kata yang hendak kuuraikan, meskipun sebenarnya itu akan menguraikan segala keruwetan di kepala ini.
Perubahan akan terus terjadi, yang terutama adalah terhadap fisik. Karena seiring berjalan waktu yang tak akan mungkin dihentikan. Bertahun berlalu. Banyak keterkejutan yang kualami. Ber-anjang sana dan anjang sini ke rumah-rumah tetangga dan sodara yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri, dari semenjak aku kecil hingga hamper dewasa, kata yang selalu kudengar adalah “Kok sudah besar?”. Dan bahkan ketika kini aku telah dewasa, justru kata itulah yang sering kuucapkan kepada keponakan-keponakan yang lama tidak ketemu. Tahu-tahu sudah pada gede. Hal yang membuatku lebih tersadar lagi adalah ketika melihat anak-anak dari teman yang seusiaku ternyata sudah beranjak dewasa. Ya, aku bukan remaja lagi. Usiaku sudah kepala 3 yang menuju kepala 4 dalam beberapa tahun lagi. Artinya kalaupun menjadi seorang ibu, bukanlah seorang ibu muda.

Akan tetapi melihat kepada kenyataanku sekarang ini yang belum juga berumah tangga? Haruskah aku merasa sedih? Merasa menyesal? Atau merasa biasa-biasa saja? Entahlah!
Sedih? Sempat merasa sedih. Karena semakin merasa sendirian ketika para teman dan sahabatku semuanya sudah berumah tangga dan memiliki anak. Tentu saja waktu untuk berkongkow-kongkow bersama sudah banyak sekali berkurang. Tentu saja tempat untukku bercurhat ria sudah semakin tak memungkinkan. Merasa kehilangan mereka. Haruskah aku memaksakan diri untuk segera menikah dengan “siapapun” hanya karena tak ingin merasa kesepian? Orang tua mendesak untuk segera menikah? Tentu saja. Orang tua yang hanya tinggal seorang ibu kini sering sakit-sakitan karena memikirkan anak perempuannya tak juga menikah di usia berkepala 3. Seperti anak yang bandel saja karena tak juga menentukan siapa bakal pendamping hidup. Hal itu membuat emakku semakin sakit dibuatnya.
Terkadang aku ingin memprotes keadaan ini. Tetapi kepada siapa aku memprotesnya? Bahkan ayam pun mungkin akan menertawakan diriku. Iya, aku memprotesnya karena ini hanya terjadi kepada perempuan. Bukankah itu menyebalkan? Kultur atau budaya di Indonesia ini begitu kejam kepada perempuan. Budaya yang patriarkhi. Perempuan itu tidak boleh melakukan “kesalahan” sedikitpun di mata masyarakat. Kalau tidak, maka hokum social itu jauh lebih kejam ketimbang hokum Negara. Ngeri bukan? Banget. Ini Indonesia. Nenek moyangku Indonesia. Jadi aku harus menerimanya. Stereotype, subordinasi, stigma terhadap perempuan akan aku terima juga.
Berdamai dengan hati dan jiwa. Berdamai dengan semua kondisi. Proses ini kulakukan hingga bertahun-tahun. Karena sungguh, ini sangat menyakiti hatiku. Apalagi ketika satu persatu teman perempuanku kudengar hendak menikah. Aku tersentak dan sepertinya diburu untuk segera mencari pasangan. Serius, ini terjadi padaku. Tetapi setelah kutanya hatiku yang lebih dalam, keputusanku adalah aku tak ingin memaksakan diri. Biarlah kunikmati kesendirian ini. Kenapa mesti merasa tersiksa? Mestinya aku punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang berguna. Walaupun aku sendiri bingung apa yang mesti kulakukan.
Semua itu… membutuhkan proses. Yah, anggap saja semua ini untuk pendewasaan diri. Semoga saja….. rencana ke depan yang menuju mahligai pernikahan ini, dapat berjalan lancer. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar