Malam, bakda
maghrib menjelang Isya’. Bertepatan dengan hari ke-5 di hari raya Idul Fitri
1437 Hijriyah. Entah berapa tahun jemari ini tak lagi menari di atas keyboard laptop
atau PC, sekedar untuk mencurahkan kegalauan yang bersemayam di kepala. Bertahun-tahun
sudah itu tak kulakukan. Aku merasa hambar dengan kata-kata yang hendak
kuuraikan, meskipun sebenarnya itu akan menguraikan segala keruwetan di kepala
ini.
Perubahan akan
terus terjadi, yang terutama adalah terhadap fisik. Karena seiring berjalan
waktu yang tak akan mungkin dihentikan. Bertahun berlalu. Banyak keterkejutan
yang kualami. Ber-anjang sana dan anjang sini ke rumah-rumah tetangga dan
sodara yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia dalam merayakan Hari Raya Idul
Fitri, dari semenjak aku kecil hingga hamper dewasa, kata yang selalu kudengar
adalah “Kok sudah besar?”. Dan bahkan ketika kini aku telah dewasa, justru kata
itulah yang sering kuucapkan kepada keponakan-keponakan yang lama tidak ketemu.
Tahu-tahu sudah pada gede. Hal yang
membuatku lebih tersadar lagi adalah ketika melihat anak-anak dari teman yang
seusiaku ternyata sudah beranjak dewasa. Ya, aku bukan remaja lagi. Usiaku sudah
kepala 3 yang menuju kepala 4 dalam beberapa tahun lagi. Artinya kalaupun
menjadi seorang ibu, bukanlah seorang ibu muda.
Akan tetapi
melihat kepada kenyataanku sekarang ini yang belum juga berumah tangga? Haruskah
aku merasa sedih? Merasa menyesal? Atau merasa biasa-biasa saja? Entahlah!
Sedih? Sempat merasa
sedih. Karena semakin merasa sendirian ketika para teman dan sahabatku semuanya
sudah berumah tangga dan memiliki anak. Tentu saja waktu untuk
berkongkow-kongkow bersama sudah banyak sekali berkurang. Tentu saja tempat
untukku bercurhat ria sudah semakin tak memungkinkan. Merasa kehilangan mereka.
Haruskah aku memaksakan diri untuk segera menikah dengan “siapapun” hanya
karena tak ingin merasa kesepian? Orang tua mendesak untuk segera menikah? Tentu
saja. Orang tua yang hanya tinggal seorang ibu kini sering sakit-sakitan karena
memikirkan anak perempuannya tak juga menikah di usia berkepala 3. Seperti anak
yang bandel saja karena tak juga menentukan siapa bakal pendamping hidup. Hal itu
membuat emakku semakin sakit dibuatnya.
Terkadang aku
ingin memprotes keadaan ini. Tetapi kepada siapa aku memprotesnya? Bahkan ayam
pun mungkin akan menertawakan diriku. Iya, aku memprotesnya karena ini hanya terjadi
kepada perempuan. Bukankah itu menyebalkan? Kultur atau budaya di Indonesia ini
begitu kejam kepada perempuan. Budaya yang patriarkhi. Perempuan itu tidak
boleh melakukan “kesalahan” sedikitpun di mata masyarakat. Kalau tidak, maka hokum
social itu jauh lebih kejam ketimbang hokum Negara. Ngeri bukan? Banget. Ini Indonesia.
Nenek moyangku Indonesia. Jadi aku harus menerimanya. Stereotype, subordinasi,
stigma terhadap perempuan akan aku terima juga.
Berdamai dengan
hati dan jiwa. Berdamai dengan semua kondisi. Proses ini kulakukan hingga
bertahun-tahun. Karena sungguh, ini sangat menyakiti hatiku. Apalagi ketika
satu persatu teman perempuanku kudengar hendak menikah. Aku tersentak dan
sepertinya diburu untuk segera mencari pasangan. Serius, ini terjadi padaku. Tetapi
setelah kutanya hatiku yang lebih dalam, keputusanku adalah aku tak ingin
memaksakan diri. Biarlah kunikmati kesendirian ini. Kenapa mesti merasa tersiksa?
Mestinya aku punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang berguna. Walaupun aku
sendiri bingung apa yang mesti kulakukan.
Semua itu… membutuhkan proses. Yah, anggap saja
semua ini untuk pendewasaan diri. Semoga saja….. rencana ke depan yang menuju
mahligai pernikahan ini, dapat berjalan lancer. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar