Korupsi memang bukan merupakan hal baru, apalagi untuk Indonesia yang konon menempati posisi ranking pertama sebagai negara terkorup di Asia Pasifik pada tahun 2010 (sumber : http://nusantaranews.wordpress.com) dan No 5 di dunia setelah Bolivia dan Kamerun. Wow, prestasi yang fantastis, bukan? Ada yang bilang Korupsi seperti penyakit endemik yang menjangkiti Negeri "Kaya Raya" ini. Ada pula yang mengatakan bahwa Korupsi bukan sekedar penyakit di tingkatan birokrasi kelas atas hingga menengah, akan tetapi juga merupakan sistem yang sudah terorganisir dengan rapi hingga ke lapisan tingkat bawah sekalipun. Sehingga, untuk pelakunya sudah bisa dipastikan tidak mungkin bertindak seorang diri (pelaku tunggal) melainkan melibatkan beberapa orang lain. Lebih dari itu, ternyata ada juga pernyataan bahwa Korupsi itu merupakan produk budaya masyarakat baik melalui keluarga dan sekolah, termasuk gaya hidup hedonisdi masyarakat.
Tidak sekedar ironis, lebih dari memprihatinkan. Di saat seluruh lapisan masyarakat terutama lapisan bawah memahami dan mengutuk perbuatan itu, akan tetapi di sisi lain justru masyarakat sendiri seolah seperti memaklumi dan membiarkan praktik-praktik "korupsi kecil" yang terjadi di tingkatan keluarga dan sekolah baik secara sadar maupun tidak. Salah satu kenyataan yang sering terjadi adalah adanya budaya "sogok" pada saat memasukkan anak ke tingkat jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ini seringkali terjadi pada sekolah-sekolah favorit baik tingkat SLTP, SLTA hingga tingkat perguruan tinggi. Hal itu bukan lagi menjadi rahasia umum, bahkan orang tua dengan tanpa merasa malu sedikitpun dapat menceritakan keberhasilan anaknya dapat memasuki sekolah yang diinginkan meskipun harus menjual sebuah mobil yang seharga puluhan hingga ratusan juta rupiah demi memenuhi "sogok" itu. Seperti pada peristiwa lain yang sering terjadi adalah pada saat Pilkades, Pilwali hingga Pilgub. Lihat saja, hampir dari setiap pemilihan tersebut bisa dipastikan ujung-ujungnya akan terjadi money politic yang sasarannya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Tidak ada penolakan dari masyarakat, mereka justru dengan girang akan mengikuti pemilihan dengan uang saku mulai dari Rp. 25.000,- s.d. Rp. 50.000,- per orang. "Serangan fajar" itu selalu terjadi.
Mungkin untuk dua peristiwa di atas sifatnya musiman, terjadi paling-paling 5 tahun sekali tergantung dari lamanya masa jabatan. Lain lagi ceritanya dengan adanya "calo" yang konon bisa membantu mengurus administrasi lebih cepat seperti Kartu Keluarga atau KTP yang paling urgent dibutuhkan masyarakat. Semakin banyak uang yang kita berikan kepada "calo" tersebut, maka akan semakin cepat surat-surat tersebut selesai.
Nah, itu menunjukkan betapa ternyata ada beberapa orang yang memanfaatkan profesi "calo" sebagai mata pencahariannya. Meskipun sifatnya sampingan. Jika saja masyarakat dengan kompak menolak praktik-praktik tersebut, mungkin untuk menekan Korupsi bisa sedikit demi sedikit berkurang. Akan tetapi bagaimana jika alih-alih mereka justru mengatasnamakan itu semua demi masa depan anak-anak mereka sebagai alasan? Mereka bilang "Jaman saiki jaman edan, yen ora melu edan ora keduman". Ah. payah sudah.
Endemik yang satu ini memang sudah menjadi penyakit kronis Bangsa yang nyaris sulit disembuhkan. Karena sudah menjangkiti mindset masyarakat dan itu sudah akrab di kehidupan sehari-hari. Merasa prihatin akan kondisi ini, sebuah institusi entah LSM atau ormas yang menamakan diri "K Vs K" alias KITA VERSUS KORUPSI, mencoba berbuat sesuatu merubah mindset itu lewat film dengan melibatkan artis dan orang-orang yang ahli di dalamnya. Ada 4 film pendek yang disajikan oleh mereka diputar secara gratis pada hari Jum'at, 18 Mei 2012 di bioskop XXI Sutos kota Surabaya.
Sebelum film ini diputar, tamu undangan diberi selebaran 2 lembar. Yang satu berisi pengantar singkat mengenai keempat film tersebut. Menurut mereka, film tersebut tidak menyajikan kisah-kisah investigatif dari kasus-kasus megakorupsi di Negeri ini. Akan tetapi mereka hanya ingin mengangkat kondisi sistem nilai yang hidup di kehidupan sehari-hari kita. Di sekolah, dalam keluarga, di tempat kerja, yang membentuk masyarakat yang jujur atau sebaliknya. Maka dari itu tetaplah penting untuk selalu menjaga nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesederhanaan dan rasa empati terhadap sesama dalam kehidupan masyarakat. Karena untuk menghasilkan generasi pemimpin Bangsa yang besar tentu saja pendidikan berawal dari keluarga dan masyarakat.
Sinopsis Film Disalin dari brosur K Vs K :
Film pertama dengan judul "Rumah Perkara". Dengan latar belakang suasana pinggiran kota, menggambarkan bahaya dari perbuatan pemimpin yang korup. Saat seorang lurah yang mestinya menjadi pelindung warga, malah jadi kaki tangan pengusaha yang menggusur rumah warga untuk sebuah proyek real estate. Pengkhianatan sang lurah telah menyengsarakan orang banyak. Selain itu, menyuburkan kebohongan dalam hubungan rumah tangga dan membuat anak kehilangan panutan.
Film kedua dengan judul "Aku Padamu" menggelitik kita dengan sikap seorang gadis yang tidak bangga menjadi anak seorang koruptor. Sangat kontras dengan fenomena kini, kala banyak kaum muda justru gemar memamerkan mobil atau gadget dari orang tua tanpa mengkritisi bagaimana itu diperoleh. Kehadiran figur guru yang sederhana dan jujur, namun sangat peduli dan dekat dengan murid-muridnya begitu membekas di hati sang gadis hingga dewasa. suplai koruptor hanya mungkin dihambat jika masyarakat mulai berhenti mengidolakan koruptor, sekaligus mencari teladan-teladan di sekitar mereka.
Film ketiga dengan judul "Selamat Siang Risa"menggetarkan kita dengan keteguhan keluarga yang menolak sogok, padahal anak mereka sedang sakit keras. Dengan latar belakang tahun 70-an yang kental, sang ayah yang dipercaya menjadi mandor gudang sebuah perusahaan pemerintah, justru mempertanyakan sikap sang pedagang yang menimbun beras saat situasi rakyat sedang kelaparan. Film ini mengajak kita memikirkan sikap-sikap kita yang sering berusaha mengambil untung dalam situasi sulit. Apalagi yang dilakukan dengan menginjak-injak kepentingan orang banyak.
Film keempat dengan judul "Pssstttt.... jangan bilang siapa-siapa" membidik potret buram dunia pendidikan dan rumah tangga yang telah digerogoti sikap permisif (toleran) terhadap korupsi. Film ini diam-diam menyajikan realitas siswa-siswi yang menjadi korban kepala sekolah dan guru yang mencari untung melalui berjulan buku. Siapapun yang tidak membeli buku yang telah di-mark-up itu akan celaka. Kebanyakan siswa tidak menyadari, sementara orang tua juga tidak merasa terganggu. Dengan gaya hidup serba hedonis dan berorientasi materi, mereka sudah tidak ambil pusing. Namun tidak demikian dengan seorang siswi yang secara berani, namun santai, coba merekam keganjilan-keganjilan ini dan menyodorkan pertanyaan "menurut kamu, siapa yang salah?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar