Sabtu, 10 Juli 2010

Ada apa dengan Gas Elpiji?

Kebijakan Pemerintah untuk mengkonversi bahan bakar minyak tanah ke gas Elpiji telah berjalan hampir setahun. Entah mengapa yang mengganggu pikiranku selama ini bahwa kebijakan tersebut terkesan dipaksakan kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin. Dampaknya luar biasa. Sebagai orang yang hidup "pas-pasan" dan sebagai tulang punggung keluarga, aku bisa sangat merasakan efeknya secara langsung.
Yang aku maksudkan adalah keluarga yang ku tinggalkan di kota kecil. Ketir-ketir dan was-was selalu menghantui pikiranku. Bagaimana tidak, pada masa menjelang pemberlakuan kebijakan tersebut, minyak tanah mulai langka ditemukan di toko-toko kecil atau warung-warung tetangga. Saking langkanya terkadang untuk sehari tidak mendapatkan minyak tanah, maka sebagai gantinya mau -tidak mau ibuku yang selalu kupanggil emak harus menggantinya dengan kayu bakar dengan mencari  sisa-sisa ranting pohon yang terjatuh di kebun pak de yang terletak di belakang rumah, atau membeli di warung. Memperhatikan kondisi emak dengan langkah kaki yang sudah tidak seperti kala sehat dulu, karena pasca strooke, aku mendesah perlahan karena kasihan. Sebagai seorang anak tentu saja aku tak tega melihatnya terpontang panting kesana-kemari demi menghidupkan dapur rumah. tangga Setelah kebijakan konversi tersebut berjalan, terus terang aku merasa lega setelah melihat emakku yang tidak lagi merasa kelelahan karena harus melawan asap dari kayu bakar, atau susah payah terus-terusan membeli minyak tanah karena kehabisan. Lagi-lagi perasaanku diliputi rasa was-was. Bagaimana emakku memasang gas elpijinya? bisa apa nggak ya? bagaimana belinya? bagaimana kalau ada penjual yang "nakalan" yang hanya memikirkan keuntungan pribadi ya? apakah pemerintah juga memantau dan mengawasi berjalannya kebijakan ini di masyarakat ya? dan yang paling parah, bagaimana kalau terjadi apa-apa karena gas elpiji tersebut, semisal tabung gas yang meledak? Berbagai macam pikiran buruk terus saja menghantui pikiranku selama ini.
Belum lagi hilang segala rasa was-was dan khawatir tersebut, muncul pemberitaan-pemberitaan di media televisi tentang gas elpiji yang meledak. Satu dua berita semoga tidak terjadi lagi. Pikirku menghibur hati. Muncul pula pemberitaan tentang langkanya gas elpiji di pasaran. Ah, semoga semua ini tidak berlangsung lama. Berkali-kali pikiran-pikiran ini hanya untuk menghalau kekhawatiranku yang semakin lama semakin terakumulasi. Bukannya hilang, tapi justru semakin menjadi.
Akhir-akhir ini rasa was-was itu semakin bertambah seiring dengan maraknya pemberitaan di televisi tentang ledakan yang diakibatkan oleh gas elpiji. Bahkan berita itu semakin sering kusaksikan meskipun masih kalah dengan berita video mesum yang mirip artis luna maya-ariel & Cut Tari. Ada apa ini? Aku membayangkan, bagaimana kalau itu terjadi pada keluargaku? Aku sangat ketakutan sekali jikalau mereka yang terbaring di rumah sakit karena menjadi korban ledakan adalah emakku, bapakku dan saudara-saudaraku.
Wahai pemerintah, aku tidak ingin marah, aku tidak mau menghujat apalagi menyalahkan. Karena memang tidak ada alasan. Walaupun sebenarnya aku geram sekali (hmm.... sebenarnya yang benar yang mana ya?) Apalagi kemarin sore aku telah menyaksikan liputan Trans TV yang mengulas tentang "kenakalan" para pedagang gas elpiji yang mengoplos dan memalsukan logo dengan seenaknya tanpa memikirkan akibat buruk yang mengancam nyawa orang banyak. Tak lupa mereka memberikan tip-tip agar konsumen tidak menjadi korban berikutnya. Begitu pula dengan stasiun televisi yang lain juga memberikan sosialisasi kepada publik tentang hal tersebut. Semoga menjadi solusi yang efektif.
Ingin sekali aku berteriak "Arrrrghhhh.........haiiiiiiiiiiiii ini nyawa orang, jangan dibuat main-main dong! Bagaimana kalau itu terjadi pada keluarga kalian? Segampang itukah kalian hanya memikirkan keuntungan pribadi dengan resiko kematian orang lain?"
Apa daya semua itu tersumbat di tenggorokan yang tak bersuara. Oh Tuhan, apakah nyawa kami begitu murahnya, sehingga ancaman kematian begitu dekat bahkan di dapur rumah kami sendiri? Meskipun kami sadar, bahwa kematian adalah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari oleh siapapun.
Lagi-lagi aku berusaha menenangkan pikiranku yang kalut, syukurlah media televisi juga giat melakukan sosialisasi dengan giatnya. Akan tetapi kekhawatiranku masih saja belum hilang. Pasalnya pemerintah memang telah melakukan tindakan dengan menindak mereka yang "nakal" dan telah mengganti regulator serta tabung gas yang tidak layak pakai. Beberapa tindakan telah dilakukan. 
Satu saja pertanyaanku yang akan terus bergentayangan adalah : Mampukah pemerintah menindak tegas para agen oplosan yang kubilang "nakalan"???? aaaah, lagi-lagi aku selalu meragukan itu. 
Baiklah, jika kondisi seperti ini tetap saja berlarut-larut, maka aku ingin menghentikan emakku untuk membeli gas yang berisi 3 kg dan beralih membeli gas yang 12 kg. Biarlah aku harus merogoh kocek lebih besar, asalkan emakku dan anggota keluargaku selamat dari bahaya "bom tabung gas 3 kg". Aku masih menyayangi keluargaku. Aku tidak akan membiarkan mereka membiarkan mereka menjadi korban berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar